THOUSANDS OF FREE BLOGGER TEMPLATES

prospek wawasan nusantara dalam era globalisasi

BAB 1. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Memasuki abad XXI ditandai dengan era globalisasi yang di dalamnya merupakan dunia informasi, proses komunikasi berjalan semakin intensif sehingga batas-batas negara tidak lagi menjadi penghalang dalam proses transformasi teknologi dan informasi. Dunia pada abad ini akan mengalami transformasi dalam segala aspek kehidupan manusia, sosial, budaya, dan politik. Proses transformasi itu dapat dirangkum dengan istilah globalisasi. Dalam era globalisasi ini kehidupan umat manusia, sebagian sudah dapat diramalkan arahnya, namun sebagian besar masih merupakan teka-teki. Banyak pakar telah menelaah globalisasi, seperti Rosabeth Moss Kanter dalam Tilaar (1997: 12) yang mengidentifikasi enam kekuatan yang mendorong proses tersebut, yaitu: (1) globalisasi dari proses industrialisasi dan teknologi, (2) globalisasi keuangan, komunikasi, dan infromasi, (3) globalisasi kekaryaan, pekerjaan, dan migrasi, (4) globalisasi efek polusi biosfer terhadap kehidupan manusia, (5) globalisasi dari perdagangan persenjataan, dan (6) globalisasi kebudayaan, konsumsi, dan media massa. Perubahan besar yang berjalan teramat cepat melanda kehidupan masyarakat, bangsa, dan Negara tersebut yang memaksa kita mempersiapkan diri bukan saja agar dapat tetap survive dalam kehidupan global yang penuh persaingan sehingga menuntut kerja keras dan hasil kerja yang berkualitas tinggi, tetapi juga bagaimana kita mengembangkan jati diri atau identitas kita sebagai bangsa Indonesia. Hal ini menuntut kita suatu wawasan masa depan, wawasan abad XXI. Masa depan bukan sesuatu yang menakutkan sehingga harus dihindari, tetapi merupakan peluang untuk meningkatkan taraf kehidupan kita asal kita siap menghadapinya. Menghadapi era globalisasi, diperlukan visi yang dapat mengarahkan misi, rencana, dan segala ikhtiar. Minimal ada enam komponen yang akan menentukan perubahan, yaitu: (1) adanya visi yang jelas, (2) misi berupa rumusan langkah-langkah kunci untuk mulai melakukan inisiatif, mengevaluasi dan mempertajam bentuk kegiatan untuk mencapai tujuan yang ditetapkan dalam visi, (3) rancangan kerja, (4) sumber daya, (5) keterampilan profesional, dan (6) motivasi dan Insentif (Tilaar (1997: 12). Peningkatan kemampuan intelektual termasuk penguasaan, penerapan, dan pengembangan ilmu pengetahuan serta teknologi agar penguasaan tersebut dapat meningkatkan kualitas hidup manusia Indonesia. Selanjutnya, manusia Indonesia yang berkualitas mempunyai daya saing yang tinggi di tengah-tengah kehidupan global. Sudah tentu penguasaan intelektual tersebut selalu harus seimbang dengan peningkatan kemampuan etis dan moral serta agama sebagai sumber nilai-nilai etika dan moral. Laporan komisi UNESCO mengenai pendidikan abad XXI menyatakan empat pilar, yaitu: learning to know, learning to do, learning to be, dan learning to live together (Delors, 1996: 85). Dalam kaitan itu kesadaran lingkungan dan moral merupakan suatu tugas yang sangat penting di setiap program pendidikan nasional. Selanjutnya, dunia yang telah menyatu itu meminta setiap anggota masyarakat untuk hidup bersama dengan penuh toleransi di tengah-tengah perbedaan yang ada. Dalam era globalisasi diperlukan jaringan komunikasi global seperti bahasa dunia (Inggris, Mandarin, dan Arab) yang merupakan bahasa mayoritas populasi penduduk dunia, perangkap komunikasi seperti komputer/internet, sikap disiplin dan kemandirian. Dalam konteks nasional, pendidikan diharapkan menghasilkan menusia Indonesia seutuhnya yang cerdas, beriman dan bertaqwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa, berbudi pekerti luhur, memiliki pengetahuan dan keterampilan, kesehatan jasmani dan rohani, berkepribadian yang mantap dan mandiri serta rasa tanggung jawab kemasyarakatan dan kebangsaan (UUSPN No.2: 1989). Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi telah membawa perubahan di hampir semua aspek kehidupan manusia dimana berbagai permasalahan hanya dapat dipecahkan kecuali dengan upaya penguasaan dan peningkatan ilmu pengetahuan dan teknologi. Selain manfaat bagi kehidupan manusia di satu sisi perubahan tersebut juga telah membawa manusia ke dalam era persaingan global yang semakin ketat. Agar mampu berperan dalam persaingan global, maka sebagai bangsa kita perlu terus mengembangkan dan meningkatkan kualitas sumber daya manusianya. Oleh karena itu, peningkatan kualitas sumber daya manusia merupakan kenyataan yang harus dilakukan secara terencana, terarah, intensif, efektif dan efisien dalam proses pembangunan, kalau tidak ingin bangsa ini kalah bersaing dalam menjalani era globalisasi tersebut. Berbicara mengenai kualitas sumber daya manusia, pendidikan memegang peran yang sangat penting dalam proses peningkatan kualitas sumber daya manusia. Peningkatan kualitas pendidikan merupakan suatu proses yang terintegrasi dengan proses peningkatan kualitas sumber daya manusia itu sendiri. Menyadari pentingnya proses peningkatan kualitas sumber daya manusia, maka pemerintah bersama kalangan swasta sama-sama telah dan terus berupaya mewujudkan amanat tersebut melalui berbagai usaha pembangunan pendidikan yang lebih berkualitas antara lain melalui pengembangan dan perbaikan kurikulum dan sistem evaluasi, perbaikan sarana pendidikan, pengembangan dan pengadaan materi ajar, serta pelatihan bagi guru dan tenaga kependidikan lainnya. Tetapi pada kenyataannya upaya pemerintah tersebut belum cukup berarti dalam meningkatkan kuailtas pendidikan. Salah satu indikator kekurang berhasilan ini ditunjukkan antara lain dengan NEM siswa untuk berbagai bidang studi pada jenjang SLTP dan SLTA yang tidak memperlihatkan kenaikan yang berarti bahkan boleh dikatakan konstan dari tahun ke tahun, kecuali pada beberapa sekolah dengan jumlah yang relatif sangat kecil. Ada dua faktor yang dapat menjelaskan mengapa upaya perbaikan mutu pendidikan selama ini kurang atau tidak berhasil. Pertama strategi pembangunan pendidikan selama ini lebih bersifat input oriented. Strategi yang demikian lebih bersandar kepada asumsi bahwa bilamana semua input pendidikan telah dipenuhi, seperti penyediaan buku-buku (materi ajar) dan alat belajar lainnya, penyediaan sarana pendidikan, pelatihan guru dan tenaga kependidikan lainnya, maka secara otomatis lembaga pendidikan ( sekolah) akan dapat menghasilkan output (keluaran) yang bermutu sebagai mana yang diharapkan. Ternyata strategi input-output yang diperkenalkan oleh teori education production function (Hanushek, 1979,1981) tidak berfungsi sepenuhnya di lembaga pendidikan (sekolah), melainkan hanya terjadi dalam institusi ekonomi dan industri.
Kedua, pengelolaan pendidikan selama ini lebih bersifat macro-oriented, diatur oleh jajaran birokrasi di tingkat pusat. Akibatnya, banyak faktor yang diproyeksikan di tingkat makro (pusat) tidak terjadi atau tidak berjalan sebagaimana mestinya di tingkat mikro (sekolah). Atau dengan singkat dapat dikatakan bahwa komleksitasnya cakupan permasalahan pendidikan, seringkali tidak dapat terpikirkan secara utuh dan akurat oleh birokrasi pusat. Pendidikan pada hakikatnya merupakan proses membangun peradaban bangsa. Oleh karena itu, pendidikan harus selalu bertumpu pada konsep pertumbuhan, pengembangan, pembaharuan, dan kelangsungannya sehingga penyelenggaraanpendidikan harus dikelola secara profesional. Mengingat pendidikan mempunyai peranyang sangat strategis dalam proses pembangunan peradaban bangsa, maka bidang pendidikan perlu komitmen nasional. Adanya dukungan pemerintah perlu ditindaklanjuti oleh Kabupaten/Kota dengan memberikan alokasi anggaran pendidikan di daerahnya sesuai dengan amanat konstitusi.

BAB 2. ISI
B. PEMBAHASAN
Berdasarkan tinjauan teoritis di atas maka untuk mengatasi persoalan manajemen pendidikan nasional apa yang dibutuhkan dan apa yang harus kita lakukan. Pada bagian ini akan mengungkap secara singkat tentang berbagai usulan untuk mengatasi persoalan yang sudah diidentifikasi di atas. Diantaranya untuk mengatasi berbagai masalah kependidikan sebagaimana disebutkan di atas maka diperlukan satu kebijakan pemerintah. Misalnya untuk mengantisipasi permasalahan pada pembangunan jangka panjang kedua ini pemerintah melalui kebijakan pembangunan pendidikan yang tercantum dalam GBHN 1999-2004 yaitu :
1. Mengupayakan perluasan dan pemerataan kesempatan memperoleh pendidikan yang bermutu tinggi bagi seluruh rakyat Indonesia menuju terciptanya manusia Indonesia berkualitas tinggi dengan peningkatan anggaran pendidikan secara berarti.
2. Meningkatkan kemampuan akademik dan profesional serta meningkatkan jaminan kesejahteraan tenaga kependidikan sehingga tenaga pendidik mampu berfungsi secara optimal terutama dalam peningkatan pendidikan watak dan budi pekerti agar dapat mengembalikan wibawa lembaga dan tenaga kependidikan.
3. Melakukan pembaharuan sistem pendidikan termasuk pembaharuan kurikulum, berupa diversifikasi kurikulum untuk melayani keberagaman peserta didik, penyusunan kurikulum yang berlaku nasional dan lokal sesuai dengan kepentingan setempat, serta diversifikasi jenis pendidikan secara profesional.
4. Memberdayakan lembaga pendidikan baik sekolah maupun luar sekolah sebagai pusat pembudayaan nilai, sikap, dan kemampuan, serta meningkatkan partisipasi keluarga dan masyarakat yang didukung oleh sarana dan prasarana memadai.
5. Melakukan pembaharuan dan pemantapan sistem pendidikan nasional berdasarkan prinsip desentralisasi, otonomi keilmuan dan manajemen.
6. Meningkatkan kualitas lembaga pendidikan yang diselenggarakan baik oleh masyarakat maupun pemerintah untuk memantapkan sistem pendidikan yang efektif dan efisien dalam menghadapi perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni.
7. Mengembangkan kualitas sumber daya manusia sedini mungkin secara terarah, terpadu dan menyeluruh melalui berbagai upaya proaktif dan reaktif oleh seluruh komponen bangsa agar generasi muda dapat berkembang secara optimal disertai dengan hak dukungan dan lindungan sesuai dengan potensinya.
8. Meningkatkan penguasaan, pengembangan dan pemanfaatan ilmu pengetahuan dan teknologi, termasuk teknologi bangsa sendiri dalam dunia usaha, terutama usaha kecil, menengah, dan koperasi guna meningkatkan daya saing produk yang berbasis sumber daya lokal.
Kemudian kebijakan tersebut dituangkan ke dalam program-program pembagunan antara lain :
1. Program Pendidikan Dasar dan Prasekolah
2. Program Pendidikan Menengah
3. Program Pendidikan Tinggi
4. Program Pembinaan Pendidikan Luar Sekolah
5. Program Sinkronisasi dan Koordinasi Pembangunan Pendidikan Nasional
6. Program Penelitian, Peningkatan Kapasitas, dan Pengembangan Kemampuan Sumber Daya Ilmu Pengetahuan dan Teknologi
7. Program Peningkatan Kemandirian dan Keunggulan Iptek Sedangkan untuk Manajemen pendidikan nasional sebagaimana diuraikan di atas Tilaar dalam bukunya membagi ke dalam 4 bagian, yaitu :
- membahas masalah pokok pengembangan Sistem Pendidikan Nasional, yang mengacu kepada UU No. 2 tahun 1989 tentang Sisdiknas. Menurutnya Sisdiknas perlu dikelola sebagai suatu sub sistem dari sistem manajemen pembangunan nasional. Dalam hal ini Tilaar mengusulkan gagasan untuk menyusun suatu sistem pendidikan dan pelatihan nasional terpadu (Sisdiklatnas), alasannya adalah karena masalah tenaga kerja terampil telah dan akan merupakan masalah serius yang perlu segera ditanggulangi dalam Raencana Pembangunan Jangka Panjang kedua. Pada bab ini dimuat secara ekstensif dan analitik mengenai manajemen pendidikan dasar.
- bagian ini dikemukakan tiga kasus manajemen pendidikan yang manyangkut fungsi dan peran pendidikan swasta, pendidikan tinggi dan pendidikan didaerah terpencil; Mengenai pendidikan swasta mengambilk kasus lembaga pendidikan yang diselenggarakan oleh PGRI, yaitu dibahas mengenai kemitraan pendidikan swasta dalam Sisdiknas dalam usaha mencari jati diri dari lembaga-lembaga pendidikan itu. Menurut Tilaar kebijakan pengembangan dan pengelolaan pendidikan swasta dewasa ini cenderung menuju konformisme yang berarti mematikan jatdiri pendidikan swasta sendiri. Konformisme akan mematikan kreativitas, inovasi yang justru mrupakan pupuk bagi suatu kehidupan yang dinamis. Mengenai pendidikan tinggi mmerlukan oreientasi kelembagaan dan program secara terus menerus kepada dinamika masyarakat Indonesia. Oleh karena itu diperlukan manajemen yang sesuai dengan dan tentunya manajer-manajer pendidikan yang profesional. Dan mengenai pendidkan daerah terpencil berkisar pada masalah pemerataan pembangunan dan penanggulangan kemiskinan.
- Tilaar menjelaskan pertama tentang hasil manajemen pendidikan, yaitu kesenjangan mutu pendidikan dan tenaga pendidika yang menjalankan dan mengelola sisdiknas, khususnya tenaga guru pada jenjang SD. Kedua, tentang pendidikan dalam globalisasi , dimana Tilaar menghimbau negara-negara berkembang tentang perlunya terobosan baru dalam strategi pendidikan guru. Diantaranya dikemukakan tetang pendidikan guru yang profesional untuk menghadapi masyarakat teknologi dan informasi, serta profesi guru sebagai manajer pendidikan untuk mempersiapkan masyarakat masa depan.
- bagian ini Tilaar mengembukakan pemikirannya tentang fungsi dan peran Sisdiknas sebagai bagian dari strategi pembangunan nasional jangka panjang kedua, untuk mempersiapkan masyarakat Indonesia memasukai dan menghadapi masyarakat industri modern. Dalam hal ini Tilaar mengemukakan sepuluh kecendrungan (megatrends) dari Sisdiknas. Yang salah satunya adalah menenagi manajemen pendidikan yang rasiona, terpadu, serta dikelola para manajer pendidikan yang profesional.
Salah satu masalah pendidikan yang kita hadapi dewasa ini adalah rendahnya mutu pendidikan pada setiap jenjang dan satuan pendidikan khususnya pendidikan dasar dan menengah. Berbagai usaha telah dilakukan, antara lain memlalui berbagai pelatihan dan peningkatan kualifikasi guru, penyediaan dan perbaikan sarana/prasarana pendidikan, serta peningkatan mutu manajemen sekolah. Namun demikian, berbagai indikator mutu pendidikan belum menunjukkan peningkatan yang merata. Sebagaian sekolah, terutama di kota-kota, menunjukkan peningkatan mutu yang cukup menggembirakan, namun Sebagian lainnya masih memprihatinkan. Dari berbagai pengamatan dan analisis, sedikitnya ada tiga faktor yang menyebabkan mutu pendidikan tidak mengalami peningkatan secara merata. kebijakan dan penyelenggaraan pendidikan nasional menggunakan pendekatan educational production function yang tidak dilaksanakan secara konsekuen. Pendekatan ini melihat bahwa lembaga pendidikan berfungsi sebagai pusat produksi yang apabila dipilih semua input (masukan) yang diperlukan dalam kegiatan produksi tersebut, maka lembaga ini akan menghasilkan output yang dikehendaki. Dalam kenyataan, mutu pendidikan yang diharapkan tidak terjadi, mengapa? Karena selama ini dalam menerapkan pendekatan education production function terlalu memusatkan pada input pendidikan dan kurang memperhatikan pada proses pendidikan. Padahal, proses pendidikan sangat menentukan output pendidikan. penyelenggaraan pendidikan dilakukan secara sentralistik, sehingga sekolah sebagai penyelenggara pendidikan sangat tergantung pada keputusan birokrasi, yang kadang-kadang kebijakan yang dikeluarkan tidak sesuai dengan kondisi sekolah setempat. Dengan demikian sekolah kehilangan kemandirian, motivasi, dan inisiatif untuk mengembangkan dan memajukan lembaganya termasuk peningkatan mutu pendidikan sebagai salah satu tujuan pendidikan nasional. peran serta masyarakat, khususnya orang tua siswa dalam penyelenggaraan pendidikan selama ini sangat minim. Partisipasi masyarakat pada umumnya selama ini lebih banyak bersifat dukungan dana, bukan pada proses pendidikan (pengambilan keputusan, monitoring, evaluasi, dan akuntabilitas). Berkaitan dengan akunfabilitas, sekolah tidak mempunyai beban untuk mempertanggungjawabkan hasil pelaksanaan pendidikan kepada masyarakat, khususnya orang tua siswa, sebagai salah satu pihak utama yang berkepentingan dengan pendidikan.
Berdasarkan kenyataan-kenyataan tersebut, perlu dilakukan upaya-upaya perbaikan, salah satunya yang sekarang sedang dikembangkan adalah reorientasi penyelenggaraan pendidikan, melalui manajemen sekolah (School Based Management). Manajemen berbasis sekolah atau School Based Management dapat didefinisikan dan penyerasian sumber daya yang dilakukan secara mandiri oleh sekolah dengan melibatkan semua kelompok kepentingan yang terkait dengan sekolah secara langsung dalam proses pengembilan keputusan untuk memenuhi kebutuhan mutu sekolah atau untuk mencapai tujuan mutu sekolah dalam pendidikan nasional. Esensi dari MBS adalah otonomi dan pengambilan keputusan partisipasi untuk mencapai sasaran mutu sekolah. Otonomi dapat diartikan sebagai kewenangan (kemandirian) yaitu kemandirian dalam mengatur dan mengurus dirinya sendiri. Jadi, otonomi sekolah adalah kewenangan sekolah untuk mengatur dan mengurus kepentingan warga sekolah sesuai dengan dengan peraturan perundang-undangan pendidikan nasional yang berlaku. Kemandirian yang-dimaksud harus didukung oleh sejumlah kemampuan, yaitu kemampuan untuk mengambil keputusan yang terbaik, kemampuan berdemokrasi/menghargai perbedaan pendapat, kemampuan memobilisasi sumber daya, kemampuan memilih cara pelaksanaan Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) bertujuan untuk memandirikan atau memberdayakan sekolah melalui pemberian kewenangan, keluwesan, dan sumber daya untuk meningkatkan mutu sekolah. Dengan demikian, secara bertahap akan terbentuk sekolah yang memiliki kemandirian tinggi.

BAB 3. PENUTUP
C. KESIMPULAN
Tantangan globalisasi yang melanda setiap bangsa memerlukan penyikapan yang bijak. Bangsa Indonesia sebagai bagian dari bangsa yang akan menerima konsekuensi tantang global tersebut, mengahadapinya dengan mempersiapkan sistem pendidikan yang terintegrasi.
Sistem pendidikan yang mampu menghadapi tantangan globalisasi memerlukan satu pengelolaan yang serius. Manajemen Pendidikan Nasional menjadi salah satu alternatif dalam megatasi persoalan pendidikan nasional yang amat strategis dan komplek.
Manajemen Pendidikan nasional pada hakekatnya merupakan keterpaduan dari proses dan sistem manajemen pendidikan secara menyeluruh dalam mencapai tunjuan pendidikan dan pembangunan nasional. Kebijakan pemerintah dan bergai upaya diusulkan oleh para ahli dalam mengatasi persoalan manajemen pendidikan nasional.
Penyelenggaraan pendidikan dasar dilihat dari berbagai aspek, politik, teknis edukatif, budaya dan profesional, tampak dengan jelas bahwa masalah manajemen pendidikan dasar bukan merupakan masalah kecil dan tidak dapat diletakan dalam dikotomi sederhana: sentralistik vs desentralistik.Sistem manajemen pendidikan yang sentralistis telah terbukti tidak membawa kemajuan yang berarti bagi peningkatan kualitas pendidikan pada umumnya. Bahkan dalam kasus-kasus tertehtu, manajemen yang sentralistis telah menyebabkan terjadinya pemandulan kreatifitas pada satuan pendidikan pada berbagai jenis dan jenjang pendidikan. Untuk mengatasi terjadinya stagnasi di bidang pendidikan ini diperlukan adanya paradigma baru dibidang pendidikan.Seiring dengan bergulirnya era otonomi daerah, terbukalah peluang untuk melakukan reorientasi paradigma pendidikan menuju ke arah desentralisasi pengelolaan pendidikan. Peluang tersebut semakin tampak nyata setelah dikeluarkannya kebijakan mengenai otonomi pendidikan melaJui strategi pemberlakuan manajemen berbasis sekolah (MBS bukan sekedar mengubah pendekatan pengelolaan sekolah dari yang sentralistis ke desentralistis, tetapi lebih dari itu melalui MBS diyakini akan muncul kemandirian sekolah.
D. DAFTAR PUSTAKA
Anwar dan Matahari, (2003) Peranan Pondok Pesantren Al Basyariah dalam Mempersiapkan Santri Memiliki Daya Saing Tinggi pada Era Globalisasi, Jurnal Pendidikandan Kebudayaan, Depdiknas
Capra, Fritjof 91981), Titik Balik Peradaban, Sains, Masyarakat dan Kebangkitan Kebudayaan, Bentang, Yogyakarta.
Program Pembangunan Nasional (Propenas) Tahun 2000 – 2004 Pembangunan Pendidikan, Departemen Pendidikan Nasional Indonesia
Tilaar (2003), Manajemen Pendidikan Nasional, Remadja Rosdakarya, Bandung.
Umaedi, (1999), Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis sekolah Sebuah pendekatan baru dalam pengelolaan sekolah untuk peningkatan mutu, Debdiknas.
Suwarman H, Engking (2005), Mata Kuliah Pengelolaan Program Pendidikan Luar Sekolah, PLS UPI, Bandung.
http://www.depdiknas.go.id/publikasi/Buletin/Pppg_Tertulis/08_2001/manajemen_pendidikan_masa_depan.htm